Home Life Style Photoshop FaceBook Download

Wednesday 21 January 2009

Kearifan Lokal Tana Toraja

SEJUMLAH bocah laki-laki berkostum bahan tenun bergaris-garis merah menggerak-gerakkan sepotong bambu di tangan kanan mereka. Sembari bergerak lincah, mereka mengarahkan rombongan tamu ke panggung utama yang berada di tengah lapangan pasar seni Rantepao, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

SUARA tetabuhan yang membahana, tarian yang lincah memeriahkan pembukaan "Toraja Fiesta" yang berlangsung pada tanggal 28-29 Desember 2004. Upacara menyambut tamu, yakni rombongan Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, adalah salah satu bagian dari upacara Rambu Tuka’, upacara kegembiraan yang dimiliki masyarakat Tana Toraja.

Pesta Toraja tersebut digelar berkaitan dengan telah masuknya Tana Toraja dalam daftar sementara warisan budaya dunia (inscription world heritage list) C1038 Unesco. Usulan pertama tahun 2000 baru sebatas satu situs, perkampungan Kete Kesu di Kecamatan Sanggalangi. Namun, dalam kunjungan tim Unesco ke Tana Toraja tahun 2002 direkomendasikan agar nominasi Tana Toraja dikembangkan menjadi Serial Nomination, yakni usulan yang terdiri dari beberapa situs dalam satu kawasan.

Atas dasar kesepakatan bersama, maka diputuskan penambahan delapan situs baru, selain situs Kete Kesu, yaitu Pallawa, Bori Parinding, Kandeapi, Rante Karrasik, Buntupune, Pala Tokke, Londa, dan Lemo. Karena nominasi itulah, masyarakat Tana Toraja patut berbangga dan merayakannya dengan upacara Rambu Tuka’.

SUKU Toraja sebelum datangnya agama Kristen dan Islam telah menganut agama nenek moyangnya yang disebut Aluk Todolo, yang diyakini sama tuanya dengan nenek moyang manusia pertama yang disebut Datu La Ukku. Keturunan Datu La Ukku inilah yang pertama kali diutus ke bumi. Salah satu keturunannya yang bernama Pong Mula Tau yang turun dari langit (To Manurun Di Langi’) membawa ajaran untuk mengadakan pemujaan/ persembahan kepada Puang Matua (Tuhan).

E Bernard M dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Tana Toraja menjelaskan, Aluk Todolo inilah yang mendasari sendi-sendi kehidupan masyarakat Toraja, termasuk adat istiadatnya. Sekalipun ada pengaruh Kristen dan Islam, Aluk Todolo percaya kepada tiga kekuatan yang wajib disembah, yaitu Puang Matua (Tuhan), unsur kekuatan tertinggi sebagai pencipta bumi, langit, dan segala isinya; Deata-deata (penguasa dan pemelihara bumi); serta To Membali Puang (arwah para leluhur yang telah menjelma menjadi dewa).

Ketiga unsur tersebut merupakan kekuatan gaib yang dipercayai oleh manusia. Suku Toraja pun memberikan persembahan sesajian dan kurban- kurban yang terdiri dari kerbau, babi, ayam, dan sejenisnya, dan dilakukan secara terpisah dalam waktu yang berbeda dengan cara yang berbeda pula: Puang Matua yang bersemayam di langit dipuja dan disembah dengan upacara di depan rumah Tongkonan, Deata disembah di sebelah timur rumah, To Membali Puang di sebelah barat rumah atau di liang kubur di mana jenazahnya dikubur.

Ajaran dari warisan nenek moyang orang Toraja inilah yang membentuk pola tingkah laku orang Toraja sebagai sumber keseluruhan unsur kebudayaan yang tampak dalam fenomena sosial sampai sekarang.

Anggapan tentang alam raya dikenal adanya klasifikasi timur-barat dan utara-selatan. Timur adalah matallo, yakni tempat terbitnya matahari yang dianggap sebagai kualitas mewakili kebahagiaan, terang, kesukaan, dan sumber kehidupan. Barat (matampu’), tempat terbenamnya matahari mewakili unsur gelap, kedukaan. Klasifikasi timur-barat membawa konsekuensi dalam kehidupan yang menyangkut tata pelaksanaan upacara.

Kehidupan masyarakat Toraja tak lepas dari upacara. Setiap fase kehidupan selalu dibarengi dengan upacara. Sama halnya dalam hidup ini tidak luput dari masalah suka-duka, terang dan gelap. Dalam sistem upacaranya dikenal dengan nama Rambu Tuka’ (upacara kegembiraan) dan Rambu Solo’ (upacara kedukaan). Waktu pelaksanaan, tempat, dan pejabat yang bertugas dalam dua perangkat upacara sudah terbagi secara tajam. Contohnya, pejabat Rambu Tuka’ tidak boleh bertugas untuk Rambu Solo’.

Utara-selatan. Utara adalah yang paling utama yang disebut ulunna lino (kepala bumi) dan selatan disebut pollo’na (bawahnya bumi). Utara mewakili anggapan seperti kepala, atasan, depan, orang-orang yang dihormati yang diidentifikasi sebagai tersuci dan terhormat. Sedangkan selatan diidentifikasi dengan bawahan, kaki, pengikut.

Model rumah adat Tongkonan dengan segala aturannya mengikuti model tersebut. Dalam kegiatan upacara, tongkonan menjadi pusat lintang timur-barat, utara-selatan. Upacara Rambu Tuka’ diselenggarakan di sebelah timur tongkonan pada waktu matahari mulai naik, sedangkan Rambu Solo’ diselenggarakan di sebelah barat pada waktu matahari mulai terbenam. Upacara penyembahan kepada Puang Matua dilakukan di depan rumah (utara).

Rambu Tuka’ ini adalah upacara keselamatan dari empat persekutuan hidup, yakni Aluk Ma’lolo, upacara untuk kehidupan dan keselamatan manusia; Aluk Patuoan, upacara untuk keselamatan dan kehidupan hewan ternak dan binatang-binatang; Aluk Tanaman, upacara untuk keselamatan tanaman serta tempat tumbuhnya tanaman-tanaman; dan Aluk Bangunan Banua, upacara untuk keselamatan pembangunan rumah dan penempatan rumah oleh empunya.

Tak terlalu banyak orang tahu bahwa masyarakat Toraja memiliki upacara Rambu Tuka’ karena selama ini yang lebih banyak mengedepan di media massa adalah upacara Rambu Solo’. Rambu Solo’ adalah upacara kematian dan pemakaman manusia sebagai upacara yang dilakukan dengan kurban hewan yang bisa jadi memakan biaya ratusan juta rupiah, tergantung pada strata sosial seseorang yang akan dimakamkan tersebut.
Kedua ritus upacara tersebut mengikat hidup dan kehidupan orang Toraja, dalam perkembangannya sangat susah ditinggalkan karena upacara-upacara ini adalah sarana untuk melestarikan kebudayaan dan kesenian Toraja.

TORAJA Fiesta adalah salah perwujudan Rambu Tuka’, ungkapan kegembiraan yang menyuguhkan serangkaian tarian/atraksi dari 15 kecamatan di Tana Toraja. Inilah upaya untuk membangkitkan kembali pariwisata Tana Toraja yang sempat ’mati suri’, terutama setelah peristiwa peledakan bom di Bali.

Menurut survei Dinas Pariwisata Kantor Wilayah Daerah Tana Toraja, Association of The Indonesia Tour and Travel Agencies (Asita), dan Persatuan Hotel dan Restoran (PHRI) Sulawesi Selatan, pada tahun 1979-1997 Toraja termasuk tujuan wisata paling populer di Indonesia setelah Bali. Tahun 1996, total wisatawan yang mengunjungi Toraja mencapai lebih kurang 387.000 wisatawan, dengan wisatawan terbesar dari Eropa dengan jumlah 200.600 orang, dari Kanada sebanyak 100.000 wisatawan, selebihnya dari Asia dan Amerika.

Toraja dengan kebudayaannya yang unik, dengan julukan Land of the Heavenly Kings yang mungkin tidak ditemukan di tempat lain di dunia dan masih hidup hingga sekarang, haruslah tetap dijaga dan dilestarikan.

Begitu banyak situs tua yang bisa dikunjungi, termasuk pekuburan leluhur, seperti situs makam pahat di Lemo, makam goa purba di Londa, menhir di Rante Karassik, perkampungan Kete Kesu yang begitu populer di kalangan turis karena di sana ada tongkonan, lumbung padi dan megalit di antara persawahan, serta makam aristokrat.

Berkunjung ke Rantepao- Makale, berarti kita belajar kearifan lokal Tana Toraja. Masyarakat Toraja begitu menghargai adat budaya mereka, menghargai para leluhur mereka, dengan tetap menjaga eksistensi pekuburan leluhur. Kearifan lokal itulah warisan budaya yang sangat berarti untuk kita semua. (elok dyah messwati)

No comments: